Seperti itu, kemudian terjadi dan
terjadi lagi. Seberapa banyak kebosanan harus ku telan kutenggelamkan dalam
rasa jiwa dan kemarahan yang tak terlampiaskan. Kekalahan selalu meraja
menaklukan semua dan segala-galanya. Aku sudah bosan melakoni peran pura-puraku.
Bersamamu neraka selalu tercipta. Menyala dan memberangus mimpi-mimpiku, yang
tak pernah selesai karena selalu terbangun sontak menyentak tiba-tiba. Inilah
lakon yang tidak pernah aku pesan sebelumnya. Tidak pula aku memilih atau
mengiyakan untuk setuju dari takdir yang tersodorkan, bukan di sodorkan. Aku
tidak meminta semuanya, semua yang ku perankan ini. Tapi aku tak bisa menagih,
karena janjipun tak pernah ada kongsi ketika itu. Adalah kongsi Tuhan bersama
takdirnya kemudian menunjukku seperti tumbal untuk dilemparkan dalam mayapada
kegelapan.
Gelap hidupku, memang sejak awal.
Sejak tangan kecilku masih meraba
mencari-cari jalan, mungkin sejak aku mewujud gas, atau either, atau apa aku
tak peduli. Karena Engkau ciptakan aku pun berawal dari ketidak pedulian, atau
bagaimana aku tak mengerti. Yang aku tahu, bahwa sejak dimana aku mulai
memiliki rasa dan kesadaran, aku merasa sudah ada ketidakadilan. Aku tidak
menghujat, karena aku sadar, bahwa hujatan seorang aku, tak mungkin bisa sampai
dengan nada yang utuh dan vokal yang jelas. Aku hanya menyesal mengapa aku
terlempar dalam neraka yang kucipta sendiri? Neraka yang tak bisa padam walau
dengan mendung pilu atau hujan airmata sekalipun. Neraka yang tak pernah bisa
berdamai dengan rasa nyaman. Dengan hati dan perasaan.
Aku hanya bisa ratapi sungkawa di
palung jiwa kosong,
Tak bisa diurai dengan kata-kata
atau disusun menjadi kalimat.
Berkali-kali aku ingin lari.
Ingin lari. Ingin lari. Ingin lari.............
Ingin pergi jauh. Jauh.jauh.
jauh. Jauh.
Melepaskan yang memberat punda,
Berbaring dan menggeletak.
Seperti yang aku pernah lakukan ketika
aku masih polos. Masih mengeja hurup, masih belajar mengaji, masih riuh dengan
teriakan malam, di surau.
Tiba-tiba aku tertampar (atau
ditampar, aku tak ingat). Menyadarkan ku, bahwa aku adalah yang sekarang usang,
tak bernilai, dan tak berharga. yang tak dilapisi segel harga diri, atau tanda
lain supaya orang lain sedikit mengerti dan mengakui bahwa aku adalah manusia
yang butuh itu. Tapi tidak untuk racun ku itu yang setiap hari selalu
menawarkan kepahitan dan kematian. Menyandingkan aku hanya demi kepentingan dan
ego sendiri. Memperalatku menjadi mesin robot yang bisa di bongkar dan dipasang
baut nya kapan saja. Melucuti kemanusiaanku dan membuang semuanya yang menjadi
milik hakiki manusia.
Akulah.
Aku sejatiku adalah manusia. Aku
sejatiku pria, aku sejatiku seharusnya seperti besi, atau baja, atau apa aku
tidak tahu. Dan aku sejatiku, seharusnya kuat dan tahan. Aku sejatikku
seharusnya tidak rapuh. Tidak seperti ini. Aku sejatiku seharusnya mendapatkan
hak ku yang seharusnya. Dan aku sejatiku seharusnya bisa sama atau menyamakan
dengan orang lain, yang tidak sama dengan aku sekarang. Karena aku lain. Karena aku berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
your Comment here